LAPORAN KARYA INOVATIF

LAPORAN KARYA INOVATIF

LAPORAN PEMBUATAN ALAT PELAJARAN  BAHASA INDONESIA KARTU SUKU KATA   ...

Jumat, 10 Maret 2017

Tips Agar Kue Bolu tidak Bantat



Hasil gambar untuk kue bolu
Bagi penggemar kuliner pasti tidak asing dengan jenis kuliner ini “KUE BOLU”Iya kan? .Nah tetapi terkadang kue satu ini dalam pembuatannya sering tidak sukses alias “BANTAT”. Ya walau menurut teman-teman justru yang bantat yang enak (lain orang lain selera lho ya, tidak boleh protes).
Nah kali ini saya ingin berbagi tips sederhana agar kue bolu yang dibuat selalu sukses, tipsnya sederhana saja yaitu:
“ TEPUNG TERIGUNYA DIMIXER SECARA BERSAMAAN DENGAN BAHAN-BAHAN LAINNYA, KECUALI MENTEGA”. Maksudnya gini, tepung terigu yang biasanya terakhir dimasukkan kedalam adonan, dimasukkan bersamaan dengan telur, gula, juga pengembangnya.Kemudian dimixer dengan kecepatan tinggi sampai lembut.Ingat ya harus dimixer dengan kecepatan tinggi. Setelah mengembang dengan sempurnah baru masukkan menteganya yang telah dicairkan. Aduk sampai rata kemudian di bakar. Kue bolunya insyaAllah dijamin sukses alias tidak bantat. Selain tidak bantat kuenya juga terasa lembut dan padat.
Ok...selamat mencoba semoga sukses.....

Rabu, 01 Maret 2017

Jangan Ikutkan Anak Lomba, Jika Ingin Anak Berprestasi.....



Jangan Ikutkan Anak Lomba, Jika Ingin Anak Berprestasi.....
Banyak orangtua ingin anaknya berprestasi, kemudian berlomba-lomba mengikutkan anaknya ikut lomba. Tanpa sadar bahwa semakin banyak lomba semakin besar dampak negatifnya. Berprestasi mungkin jadi impian banyak orangtua terhadap anaknya. Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya berprestasi? Besarnya hasrat membuat banyak orang tua dan sekolah memilih ukuran berprestasi yang mudah diukur. Jadi juara dan dapat piala yang untuk mendapatkannya anak harus mengikuti suatu lomba. Lemari penuh piala adalah tanda kebanggaan.
Tapi tahukah anda bahwa ikut lomba, jadi juara dan dapat piala BUKAN ukuran berprestasi? Tahukah anda bahwa ikut lomba justru berdampak negatif pada anak? Seorang ibu yang rajin mendaftarkan dan mengantarkan anaknya untuk ikut lomba menggambar. Sebagaimana kebanyakan orangtua, ia meyakini bahwa lomba membuat anak semangat berlatih. Semakin berlatih, semakin mahir anak, semakin berprestasi.
Namun suatu hari sang anak membongkar tumpukan majalah di gudang di rumahnya. Sang anak memeriksa satu per satu majalah anak seakan mengincar satu edisi yang berharga. Ibunya penasaran dan bertanya pada sang anak. Alangkah terkejutnya ia mendapat jawaban dari anaknya bahwa ia mencari edisi majalah anak yang mengumumkan pemenang lomba menggambar pada tahun lalu.
Buat apa anak itu mencari majalah yang terbit tahun lalu? Ya, anak itu ingin melihat gambar macam apa yang dimenangkan oleh tim juri. Ia ingin mempelajari gambar tersebut dan berusaha menggambar seperti gambar pemenang tahun lalu itu.
Ibunya terhenyak mendengar jawaban sang anak. Tidak terbayang sedikitpun di benaknya bahwa upayanya mengikutkan anak ke lomba menggambar justru membuat anak tidak percaya diri dengan kemampuannya. Bukannya menunjukkan keunikan dirinya, tapi justru menjiplak gambar anak lain. Suatu dampak yang tidak pernah disangkanya. Sejak itu, ia tidak pernah lagi mengikutkan anaknya ke lomba menggambar maupun lomba yang lain.
Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula pada gigi. Seperti semakin banyak gula maka semakin rusak gigi, begitu pula dengan kompetisi, semakin banyak diikuti semakin merusak harga diri anak. Kompetisi membuat anak melakukan evaluasi terhadap kemampuan dirinya berdasarkan sumber eksternal, anak lain atau peserta kompetisi yang lain. Semakin banyak lawan yang dikalahkan, semakin besar harga diri anak. Menjadi baik tidak cukup, bila tidak mengalahkan semua lawan.
Anak-anak sukses ketika mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi, kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari sumber
Kompetisi adalah sumber permusuhan. Tidak semua anak akan menang dalam sebuah kompetisi. Bila ada anak yang menang, maka anak yang lain pasti kalah. Seorang peserta kompetisi dibiasakan memandang peserta lain sebagai penghalang dari kemenangannya.Mereka yang berada dalam lingkungan kompetisi akan sulit memahami sudut pandang orang lain. Riset membuktikan bahwa anak yang kompetitif cenderung kurang berempati pada anak yang lain. Semua urusan dilihat dari sudut pandang kepentingannya. Bila ada yang menghalanginya, maka anak tersebut harus dimusuhi.
Bersenang-senang tidak berarti mengubah lapangan bermain menjadi arena kompetisi. Kita seringkali menganggap kompetisi adalah satu-satunya sumber kesenangan buat anak. Hampir semua kegiatan anak-anak bersifat kompetisi bahkan kegiatan yang sifatnya untuk bersenang-senang sekalipun. Semuanya dilombakan.Jika ada perubahan dari kompetisi menjadi kolaborasi justru membuat anak mendapatkan kesenangan yang lebih besar.
Bila tidak ikut lomba sehingga anak tidak dapat piala, lalu bagaimana anak bisa berprestasi? Ukuran berprestasi bukanlah jumlah juara, piala atau medali. Menjadi juara, dapat piala atau medali tidak memberikan banyak informasi mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk mengembangkan diri. Ukuran berprestasi adalah karya yang dihasilkan anak dan manfaat dari karya tersebut bagi orang lain. Setiap anak telah dianugerahi bakat uniknya sendiri. Sepanjang gemar dan tekun melakukan aktivitas bakatnya, anak bisa tampil dan berkarya. Tekun tidak dinilai dari berapa jumlah piala yang didapatkan, tapi dari seberapa sering anak melakukan aktivitas seru sesuai kegemaran atau bakatnya.