Jangan Ikutkan Anak Lomba,
Jika Ingin Anak Berprestasi.....
Banyak
orangtua ingin anaknya berprestasi, kemudian berlomba-lomba mengikutkan anaknya
ikut lomba. Tanpa sadar bahwa semakin banyak lomba semakin besar dampak
negatifnya. Berprestasi
mungkin jadi impian banyak orangtua terhadap anaknya. Siapa sih orangtua yang
tidak ingin anaknya berprestasi? Besarnya hasrat membuat banyak orang tua dan
sekolah memilih ukuran berprestasi yang mudah diukur. Jadi juara dan
dapat piala yang untuk mendapatkannya anak harus mengikuti suatu lomba. Lemari
penuh piala adalah tanda kebanggaan.
Tapi tahukah anda bahwa ikut
lomba, jadi juara dan dapat piala BUKAN ukuran berprestasi? Tahukah anda
bahwa ikut lomba justru berdampak negatif pada anak? Seorang ibu yang rajin mendaftarkan dan mengantarkan anaknya untuk
ikut lomba menggambar. Sebagaimana kebanyakan orangtua, ia meyakini bahwa lomba
membuat anak semangat berlatih. Semakin berlatih, semakin mahir anak, semakin
berprestasi.
Namun suatu hari sang anak membongkar tumpukan majalah
di gudang di rumahnya. Sang anak memeriksa satu per satu majalah anak seakan
mengincar satu edisi yang berharga. Ibunya penasaran dan bertanya pada
sang anak. Alangkah terkejutnya ia mendapat jawaban dari anaknya bahwa ia
mencari edisi majalah anak yang mengumumkan pemenang lomba menggambar pada
tahun lalu.
Buat apa
anak itu mencari majalah yang terbit tahun lalu? Ya, anak
itu ingin melihat gambar macam apa yang dimenangkan oleh tim juri. Ia
ingin mempelajari gambar tersebut dan berusaha menggambar seperti gambar
pemenang tahun lalu itu.
Ibunya terhenyak mendengar jawaban sang anak. Tidak
terbayang sedikitpun di benaknya bahwa upayanya mengikutkan anak ke lomba
menggambar justru membuat anak tidak percaya diri dengan kemampuannya. Bukannya
menunjukkan keunikan dirinya, tapi justru menjiplak gambar anak lain.
Suatu dampak yang tidak pernah disangkanya. Sejak itu, ia tidak pernah lagi
mengikutkan anaknya ke lomba menggambar maupun lomba yang lain.
Kompetisi pada harga diri anak
ibarat gula pada gigi. Seperti semakin banyak gula maka semakin rusak gigi,
begitu pula dengan kompetisi, semakin banyak diikuti semakin merusak harga diri
anak. Kompetisi membuat anak melakukan evaluasi terhadap kemampuan dirinya
berdasarkan sumber eksternal, anak lain atau peserta kompetisi yang lain.
Semakin banyak lawan yang dikalahkan, semakin besar harga diri anak. Menjadi
baik tidak cukup, bila tidak mengalahkan semua lawan.
Anak-anak sukses ketika mengatasi
kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita
melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi,
kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu
adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari
sumber
Kompetisi adalah sumber permusuhan. Tidak semua
anak akan menang dalam sebuah kompetisi. Bila ada anak yang menang,
maka anak yang lain pasti kalah. Seorang peserta kompetisi dibiasakan
memandang peserta lain sebagai penghalang dari kemenangannya.Mereka yang berada
dalam lingkungan kompetisi akan sulit memahami sudut pandang orang lain. Riset
membuktikan bahwa anak yang kompetitif cenderung kurang berempati pada anak
yang lain. Semua urusan dilihat dari sudut pandang kepentingannya. Bila
ada yang menghalanginya, maka anak tersebut harus dimusuhi.
Bersenang-senang tidak berarti
mengubah lapangan bermain menjadi arena kompetisi. Kita
seringkali menganggap kompetisi adalah satu-satunya sumber kesenangan buat
anak. Hampir semua kegiatan anak-anak bersifat kompetisi bahkan kegiatan yang
sifatnya untuk bersenang-senang sekalipun. Semuanya dilombakan.Jika ada
perubahan dari kompetisi menjadi kolaborasi justru membuat anak mendapatkan
kesenangan yang lebih besar.
Bila tidak ikut lomba sehingga anak
tidak dapat piala, lalu bagaimana anak bisa berprestasi? Ukuran
berprestasi bukanlah jumlah juara, piala atau medali. Menjadi juara, dapat
piala atau medali tidak memberikan banyak informasi mengenai tindakan yang
perlu dilakukan untuk mengembangkan diri. Ukuran berprestasi adalah karya yang
dihasilkan anak dan manfaat dari karya tersebut bagi orang lain. Setiap
anak telah dianugerahi bakat uniknya sendiri. Sepanjang gemar dan tekun
melakukan aktivitas bakatnya, anak bisa tampil dan berkarya. Tekun tidak
dinilai dari berapa jumlah piala yang didapatkan, tapi dari seberapa sering
anak melakukan aktivitas seru sesuai kegemaran atau bakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar